Kamis, 20 Februari 2014

True Love ?

Ayana mendenguskan napas kasar. Sudah hampir 2 jam dia menunggu, Doni-pacarnya, ditaman ini. mereka berjanji bertemu jam 8 disini, mereka akan mengisi libur akhir pecan mereka dengan bermain ditaman hiburan. Namun, sekarang sudah hampir pukul 10, dan laki-laki itu belum datang juga.
            “Ayana…?” panggilan seorang laki-laki, membuat gadis manis berambut hitam panjang itu menoleh. Dia, sudah berharap sosok itu adalah Doni, dia juga sudah siap untuk memarahi laki-laki itu karna keterlambatannya. Tapi, keningnya seketika berkerut saat didapatinya orang lain. Orang yang tidak diharapkannya untuk saat ini.
            “Dewa ? Kamu ngapain disini ?” Ya, laki-laki itu adalah Dewa. Teman sekolahnya dan Doni. Namun, bukan itu masalahnya. Dewa memiliki perasaan pada Ayana, bahkan pernah menyatakannya. Tapi, karena Ayana menyukai Doni dan juga alasan lainnya, dia menolak Dewa. Tak terhitung sudah berapa kali Dewa mengatakan perasaannya pada Ayana. Tapi, tetap saja hanya Doni yang mampu mencairkan gunung es yang berada dihati gadis itu.
Kini pun, mereka hanya sebatas teman. Walaupun sebenarnya, perasaan itu tak pernah hilang dari hati Dewa.
            “ Ini kan taman umum, Ay. Jadi, nggak apa-apa dong aku kesini.” Jawab Dewa seraya tersenyum. Ayana hanya membasnya dengan senyuman kecil.
            “Kamu sendiri kenapa disini? Dan kayaknya gelisah amat” Ayana menarik napas pelan.
            “Aku nungguin, Doni, kami janjian disini mau pergi jalan. Tapi, dia belum datang juga sampe sekarang.” Ayana kembali tersenyum kecil. Namun, tersirat kekecewaan disana.
            “Kenapa nggak kamu hubungin aja?”
            “Udah kucoba berkali-kali. Tapi, nggak diangkatnya.” Dewa menggeram pelan. Dia tak habis pikir dengan sikap Doni yang membiarkan Ayana menunggu. Bagaimana pun, Dewa tetap ingin gadis yang disayangnya bahagaia dan tersenyum walaupun bukan bersama dia. Dan dia benci melihat Ayana yang seperti ini, khususnya kepada orang yang membuatnya begini. Doni. Tiba-tiba ponsel yang sedari tadi berada ditangan Ayana berdering.
            “Doni, De…” ujar Ayana pelan.
            “Angkatlah, Ay.” Ayana pun menempelkan benda persegi itu di telinganya.
            “Hallo, Don. Kamu dimana?”
            “…”
            “Hmm, gitu. Iyadeh nggak apa-apa. Bisa lain kali kok.”
            “…”
            “Iya, semoga urusanmu cepat selesai ya.” Sambungan telepon telah terputus. Kini Ayana kembali menghela napas dan menatap ponselnya kosong. Dewa hanya menunggu Ayana membuka suara. Meskipun dia tau apa yang terjadi.
            “Dia nggak jadi datang. Ada urusan keluarga.” Ayana tersenyum getir. Dewa semakin geram pada Doni. Dia telah rela dan menerima Ayana bersama Doni, dengan harapan Ayana bahagia dan bisa selalu tersenyum. Tapi, dia sudah membuat Ayana kecewa dan bersedih.
            Dewa pun tahu, walaupun Ayana tak bercerita padanya, ini bukan yang pertama kalinya Doni mengecewakannya, membuatnya menunggu, bahkan membuatnya sakit hati.
Dewa memandangi Ayana yang larut dalam lamunannya.
“Jalan sama aku aja, Ay” ujar Dewa setelah hening yang cukup lama. Mata hitam bulat miliknya menatap Dewa, terlihat keraguan disana. Melihat tatapan keraguan dimata Ayana, Dewa pun mengerti dan kembali tersenyum.
            “Cuma jalan sebagai teman.” Tambah Dewa.
***
            Seminggu berlalu setelah kejadian itu. Weekand yang seharusnya Ayana habiskan bersama Doni, dilaluinya bersama dengan Dewa.
Menurut Ayana Dewa tak berubah. Tetap perhatian seperti dulu, sama seperti dulu saat Dewa masih melakukan pendekatan padanya. Ayana tak tahu entah itu hanya karna Dewa masih berharap padanya atau tidak.
            Karena perhatian yang diberikan Dewa padanya, membuat kekecewaannya pada Doni lenyap, begitu pula pikirannya tentang laki-laki itu. Gadis itu merasa Dewa selalu ada saat dia dalam masalah. Masalah apapun, termasuk ketika masalahnya dengan Doni. Dewa selalu menghiburnya.
            “Na, mikirin apa?” panggilan Fara-sahabatnya, membuyarkan lamunan Ayana. Ayana tersenyum pada sahabatnya itu. Sahabatnya yang selalu menjadi tempatnya mencurahkan cerita dan semua rahasianya.
            “Cuma lagi mikir aja, Far. Apa yang perhatian bisa kalah sama yang disayang?” Fara melotot kaget mendengar perkataan sahabatnya itu.
            “Doni dan Dewa?” tanyanya, Ayana mengangguk. Matanya menatap kosong lapangan basket didepannya.
Fara menghela napas pelan, iba melihat sahabatnya itu. Sebenarnya, ia juga telah menasehati dan memarahi Doni, yang notabene teman sekelasnya itu. Tentang hubungannya dengan Ayana. Dia juga ingin menceritakan pada Doni tentang Dewa. Namun, Ayana selalu melarang dan mengancamnya. Dia tidak tahu apa yang dipikirkan Ayana hingga tak mau Fara bercerita tentang Dewa pada Doni.
            “Kita nggak tahu apa yang bakalan terjadi besok, Na” ujar Fara.
            “Iya, Far. Bisa aja kan, rasa untuk Doni beralih pada Dewa. Saat itu terjadi nanti, kita semua bakal ngerti dimana kesalahan kita, dan akhirnya Cuma ada penyasalan.”